Rabu, 11 November 2009

HIKMAH HAJI

Buat yang diundang Allah SWT ketanah suci mejadi tamu-Nya .... biar tidak sia-sia sebaiknya niat dan janjinya ditetapkan dulu... Hadist yang diriwayatkan dari kalangan Ahlul Bait Nabi Saw patut dijadikan pegangan.

Seorang murid Imam Ali Zainal Abidin as bernama asy-Syibli, setelah selesai melaksanakan ibadah haji, pergi menemuinya untuk menyampaikan padanya apa-apa yang dialaminya selama itu. Maka terjadilah percakapan di antara keduanya.

"Wahai Syibli, bukankah anda telah selesai mengerjakan ibadah haji?"

"Benar, wahai putra Rasulullah".

"Apakah anda telah berhenti di Miqat lalu menanggalkan semua pakaian yang terjahit yang terlarang bagi orang yang sedang mengerjakan haji dan kemudian mandi.. . ?"

"Ya, benar ... .?"

"Adakah anda ketika berhenti di Miqat juga meneguhkan niat untuk berhenti dan menanggalkan semua pakaian maksiat dan, sebagai gantinya, mengenakan pakaian taat?"

"Tidak .. . ."

"Dan pada saat menanggalkan semua pakaian yang teriarang itu, adakah anda menanggalkan dari diri anda semua sifat riya', nifaq, serta segala yang diliputi syubhat ....?"

"Tidak ..."

"Dan ketika mandi dan membersihkan diri sebelum memulai ihram, adakah anda bemiat mandi dan membersihkan diri dari segala pelang-garan dan dosa-dosa?"

"Tidak ...."

"Kalau begitu, anda tidak berhenti di Miqat, tidak menanggalkan pakaian yang terjahit dan tidak pula mandi membersihkan diri ..!"

Kemudian Ali Zainal Abidin melanjutkan:

". . . .Dan ketika mandi dan berihram serta mengucap niat untuk memasuki ibadah haji, adakah anda menetapkan niat untuk membersihkan diri dengan cahaya taubat yang tulus kepada Allah swt.... ?"

"Tidak ...."

". . . . Dan pada saat niat berihram, adakah anda berniat mengharamkan atas diri anda segala yang diharamkan oleh Allah Azza wa Jalla...?"

"Tidak ...."

. . . Dan ketika mulai mengikat diri dalam haji, adakah anda, pada waktu yang sama, melepaskan juga segala ikatan selain bagi Allah?"

Tidak ...."

"Kalau begitu, anda tidak membersihkan diri, tidak berihram, dan tidak pula mengikat diri dalam Haji... .!" Kmudian Ali Zainal Abidin melanjutkan:

Bukankah anda telah memasuki Miqat, lalu solat Ihram dua rakaat, dan setelah itu mulai rukan talbiah?

Ya,…benar..."

Apakah ketika memasuki Miqat anda meniatkannya sebagai ziarah menuju keridhaan Allah . . ?"

Tidak .. ."

. . Dan ketika shalat Ihram dua rakaat, adakah anda berniat mendekatkan diri, bertaqarrub kepada Allah dengan mengerjakan suatu amal yang paling utama di antara segala macam amal, shalat yang juga merupakan kebaikan yang di antara kebaikan-kebaikan yang dikerjakan hamba-hamba Allah swt......?"

Tidak...."

. . Kalau begitu, anda tidak memasuki Miqat, tidak bertalbiah, dan tidak shalat Ihram dua rakaat!"

Ali Zainal Abidin bertanya lagi:

"Apakah anda telah memasuki Masjidil Haram, dan memandang Ka'bah, serta shalat di sana ... ?"

"Ya ..., benar..."

"Ketika memasuki Masjidil Haram, adakah anda berniat mengharamkan atas din anda, segala macam pergunjingan terhadap diri kauni muslimin .. . ?"

"Tidak .. .."

". . . . Dan ketika sampai di kota Makkah, adakah anda mengukuhkan niat untuk menjadikan Allah swt. sebagai satu-satunya tujuan ... ?"

"Tidak . . .."

". . Kalau begitu, anda tidak memasuki Masjidi Haram, tidak memandang Ka'bah, dan tidak pun bershalat di sana . . .!"

Dan beliau melanjutkan lagi:

"Apakah anda telah bertawaf mengeliling Ka'bah. Baitullah, dan telah menyentuh rukun rukunnya?"

"Ya..."

". . .Pada saat bertawaf, adakah anda bernia berjalan dan berlari menuju keridhaan Allah Yani Maha Mengetahui segala yang ghaib dan tersembunyi?"

'Tidak .. ."

"Kalau begitu .. ., anda tidak bertawaf mengelilingi Baitullah, dan tidak menyentuh rukun-rukunnya.

Dan beliau melanjutkan pertanyaannya:

"... Dan apakah anda telah berjabatan (bersalam tangan) dengan Hajar Aswad, dan berdiri - bershalat di tempat Maqam Ibrahim?"

"Ya . . . !"

Mendengar jawaban itu, Ali Zainal Abidin tiba-tiba berteriak, menangis dan meratap, dengan suara merawankan hati seperti hendak meninggalkan hidup ini, seraya berucap:

"Oh, ... oh,... Barangsiapa berjabat tangan dengan Hajar Aswad, seakan-akan ia berjabatan tangan dengan Allah swt.! Oleh karena itu, ingatlah baik-baik, wahai insan yang merana dan sengsara, janganlah sekali-kali berbuat sesuatu yang me-nyebabkan engkau kehilangan kemuliaan-agung yang telah kaucapai, dan membatalkan kehormatan itu dengan pembangkanganmu terhadap Allah dan mengerjakan yang diharamkanNya, sebagaimana dilakukan oleh mereka yang bergelimang dalam dosa-dosa ....!"

Kemudian beliau berkata lagi:

"Ketika berdiri di Maqam Ibrahim, adakah anda mengukuhkan niat untuk tetap berdiri di atas jalan ketaatan kepada Allah dan meninggalkan jauh-jauh segala maksiat. ..?"

"Tidak . . ."

"... Dan ketika shalat dua rakaat di Maqam Ibrahim adakah anda berniat mengikuti jejak Nabi Ibrahim as. dalam shalat beliau, serta menentang segala bisikan syaitan?"

"Tidak..."

• "Kalau begitu . . . , anda tidak berjabat tangan dengan Hajar Aswad, tidak berdiri di Maqam Ibrahim, dan tidak pula shalat dua rakaa di dalamnya..."

Dan beliau melanjutkan lagi:

"Apakah anda telah mendatangi dan memandangi sumur Zamzam dan minum airnya ...?'

"Ya...."

"Apakah anda, pada saat memandangnya berniat menujukan pandangan anda kepada semua bentuk kepatuhan kepada Allah, serta memejamkan mata terhadap setiap maksiat kepadaNya?

"Tidak ..."

"Kalau begitu ..., anda tidak memandanginya dan tidak pula minum airnya ...!"

Selanjutnya beliau bertanya lagi:

". . . Apakah anda telah mengerjakan Sa'i antara Shafa dan Marwah, dan berjalan pulang pergi antara kedua bukit itu?"

"Ya ...., benar."

"Dan pada saat-saat itu, anda menempatkan diri anda di antara harapan akan rahmat Allah dan ketakutan menghadapi azabNya ...?"

"Tidak..."

"Kalau begitu . . . , anda tidak mengerjakan Sa'i dan tidak berjalan pulang-pergi antara keduanya!"

Lalu beliau bertanya:

"Anda telah pergi ke Mina ... ?"

"Ya..."

"Ketika itu, adakah anda menguatkan niat akan berusaha sungguh-sungguh agar semua orang selalu merasa aman dari gangguan lidah, hati, serta tangan anda sendiri ... ?"

"Tidak ...."

"Kalau begitu, anda belum pergi ke Mina! Dan ..., anda telah berwuquf di Arafat. .. ? Men-daki Jabal Rahmah, mengunjungi Wadi Namirah, serta menghadapkan doa-doa kepada Allah swt. di bukit-bukit as-Shakharaat... ?"

"Ya,.,benar..."

"Ketika berdiri — wuquf di Arafat, adakah anda dalam kesempatan itu, benar-benar menghayati ma'rifat akan kebesaran Allah swt. serta mendalami pengetahuan tentang hakikat ilmu yang akan menghantarkanmu kepadaNya? Dan apakah ketika itu anda menyadari benar-benar betapa Allah Yang Maha Mengetahui meliputi segala perbuatan, perasaan, serta kata-kata hati sanubari anda ... r

"Tidak ..."

"Dan .... ketika mendaki Jabal Rahmah, adakah anda sepenuhnya mendambakan rahmah Allah bagi setiap orang mukmin, serta mengharapkan bimbinganNya atas setiap orang muslim?"

"Tidak . . .."

"Dan ketika berada di Wadi Namirah, adakah anda berketetapan hati untuk tidak mengamarkan (memerintahkan) sesuatu yang ma'ruf, sebelum anda mengamarkannya pada diri anda sendiri? Dan tidak melarang seseorang melakukan sesuatu, sebelum anda melarang diri sendiri ....?"

"Tidak ...."

"Dan ketika berdiri di bukit-bukit di sana, adakah anda menyadarkan diri bahwa tempat itu menjadi saksi atas segala kepatuhan pada Allah, dan mencatatnya bersama-sama para Malaikat pencatat, atas perintah Allah, Tuhan sekalian lelangit?"

"Tidak ...."

"Kalau begitu . . . , anda tidak berwuquf di Arafat, tidak mendaki Jabal Rahmah, tidak mengenal Wadi Namirah, dan tak pula berdoa di tempat-tempat itu .. . !"

Dan Ali Zainal Abidin bertanya lagi:

"Apakah anda telah melewati kedua bukit al-Alamain, dan mengerjakan dua rakaat shalat sebelumnya, dan setelah itu meneruskan perjalanan ke Muzdalifah; memungut batu-batu di sana, kemudian melewati Masy'arul'Haram. . . ?"

"Ya. . ."

"Dan ketika shalat dua rakaat, adakah anda meniatkannya sebagai shalat syukur, pada malam menjelang tanggal sepuluh Dzul-Hijjah, dengan mengharapkan tersingkirnya segala kesulitan serta datangnya segala kemudahan?"

"Tidak ..."

"Dan ketika lewat di antara kedua bukit itu dengan sikap lurus tanpa menoleh ke kanan atau ke kiri, adakah anda saat itu meneguhkan niat untuk tidak bergeser (menyeleweng) dari Agama Islam, agama yang haqq, baik ke arah kanan atau pun kiri…..,tidak dengan hatimu, tidak pula dengan lidahmu, atau pun dengan semua gerak-gerik anggota tubuhmu yang lain?"

"Tidak ..."

". . . Dan ketika menuju Muzdalifah, dan me-mungut batu-batu di sana, adakah anda berniat membuang jauh-jauh dari dirimu segala macam maksiat dan kejahilan terhadap Allah swt, dan sekaligus menguatkan hatimu untuk tetap mengejar ilmu dan amal yang diridhai Allah ....?"

"Tidak .. "

"Dan ketika melewati al-Masy'arul-Haram, adakah anda mengisyaratkan kepada diri anda sendiri, agar bersyi'ar seperti orang-orang yang penuh takwa dan takut kepada Allah Azza wa Jalla ...?"

"Tidak .. ."

"Kalau begitu . . . , anda tidak melewati 'Alamain, tidak shalat dua rakaat, tidak berjalan ke Muzdalifah, tidak memungut batu-batu di sana, dan tidak pula lewat di Masy'ar-ul-Haram…!'

Dan beliau melanjutkan:

"Wahai Syibli, apakah anda telah mencapai Mina, melempar Jumrah, mencukur rambut, menyembelih kurban, bershalat di masjid Khaif; kemudian kembali ke Makkah dan mengerjakan tawaf Ifadhah (Ifadhah adalah berangkat dan berpencar dan sesuatu tempat ke tempat lainnya. Yang dimaksudkan di sini ialah thawaf yang dikerjakan setelah berangkat pulang dari 'Arafat).?

"Ya .., benar..."

"Ketika sampai di Mina, dan melempar Jumrah, adakah anda berketetapan hati bahwa anda kini telah sampai ke tujuan, dan bahwa Tuhanmu telah memenuhi untukmu segala hajatmu...?"

"Tidak..."

"Dan pada saat melempar Jumrah, adakah anda meniatkan dalam hati, bahwa dengan itu anda melempar musuh bebuyutanmu, yaitu Iblis, serta memeranginya dengan telah disempurnakannya ibadah hajimu yang amat mulia itu?"

"Tidak..."

"Dan pada saat mencukur rambut, adakah anda berketetapan hati bahwa dengan itu anda telah mencukur dari dirimu segala kenistaan; dan bahwa anda telah keluar dari segala dosa-dosa seperti ketika baru lahir dari perut ibumu ... ?"

"Tidak ..."

"Dan ketika shalat di masjid Khaif, adakah anda berniat untuk tidak memiliki oerasaan khauf (takut) kecuali kepada Allah swt. serta dosa-dosamu sendiri? Dan bahwa anda tiada mengharapkan sesuatu kecuali rahmat Allah ... ?"

"Tidak...."

"Dan pada saat memotong hewan kurban, adakah anda berniat memotong urat ketamakan dan kerakusan, dan berpegang pada sifat wara' yang sesungguhnya? Dan bahwa anda mengikuti jejak Nabi Ibrahim as. yang rela memotong leher putra kecintaannya, buah-hatinya dan penyegar jiwanya . . . , agar menjadi teladan bagi manusia sesudahnya . . . , semata-mata demi mengikuti perintah Allah swt... ?"

"Tidak..."

". . . Dan ketika kembali ke Makkah, dan mengerjakan tawaf Ifadhah, adakah anda meniatkan berifadhah dari pusat rahmat Allah, kembali kepada kepatuhan terhadapNya, berpegang teguh pada kecintaan kepadaNya, menunaikan segala perintahNya, serta bertaqarrub selalu kepadaNya ... ?"

"Tidak ..."

"Kalau begitu . . . , anda tidak mencapai Mina, tidak melempar Jumrah, tidak mencukur rambut, tidak menyembelih kurban, tidak mengerjakan manasik, tidak bershalat di masjid Khaif, tidak bertawaf thawaful-Ifadhah, dan tidak pula mendekat kepada Tuhanmu . . .! Kembalilah . . . , kembalilah . . . , sebab anda sesungguhnya belum menunaikan haji anda!!"

dicopy dari: www.Fatimah.org

Tak kenal maka tak sayang
Imam Ali "Zainal Abidin" bin Husein bin Ali bin Abi Thalib adalah keturunan langsung dari Rosulullah Saw melalui Fatimah az Zahra. Beliau terkenal dengan sebutan As Sajjad karena banyaknya beliau bersujud kepada Allah. Beliau mempunyai banyak karya besar diantaranya berupa kumpulan Do'a dan munajad yang diberi judul Sahifah As-Sajjadiyah dan Risalatul Huquq yang berisi detail definisi segala macam "Hak"

Minggu, 30 Agustus 2009

KRITIK ATAS WAKTU MEMULAI PUASA DAN WAKTU BERBUKA PUASA

Udah lama pingin banget nulis hal ini. Tetapi baru sekarang aku memberanikan diri. Karena apa yang hendak aku tuliskan, sebetulnya dapat saja dengan mudahnya diragukan kebenarannya oleh para penganut paham Argumentum ad Hominem.
Pasalnya, aku seorang mahasiswa fakultas hukum yang buta akan tafsir agama, memberanikan diri menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits.
Kepada para ahli agama, mohon maaf jika apa yang aku sampaikan ternyata berbeda dengan pendapat Anda.
Ini seputar waktu berbuka puasa dan waktu memulai puasa.
Banyak diantara temen-temenku yang sering kali menegur untuk segera berbuka puasa. Mereka berkata bahwa Nabi memerintahkan kita untuk menyegerakan berbuka puasa. Dalam hatiku aku bertanya, kalau memang menyegerakan, knapa ndak berbuka puasa ketika jam 9 pagi saja? Hehehe…ini hanya pertanyaan bodoh yang sepintas ada dalam pikiranku saat itu.
Aku coba membuat saat-saat berbuka puasa itu menjadi sebuah diskusi yang menarik. Untungnya di handphoneku ada Al-Qur’an digital. Segera saja aku buka Surat Al-Baqarah ayat 187. Disana terdapat ketentuan mengenai waktu berbuka puasa dan waktu memulai puasa.
”… dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam…” (QS. Al-Baqarah : 187)

Waktu memulai puasa
Banyak diantara kita yang berpendapat bahwa waktu memulai puasa adalah ketika masuk waktu adzan subuh. Bahkan diantaranya ada yang menghentikan aktivitas makan dan minum mereka beberapa menit sebelum adzan subuh. Apakah itu benar?
Menurutku yang dhoif ini, waktu tersebut tidak sesuai dengan penafsiranku terhadap ayat tersebut. Aku ndak berani mengatakan pendapat mayoritas umat Islam itu berbeda dengan ayat Al-Qur’an. Aku hanya berani mengatakan bahwa pendapat yang mengatakan waktu berbuka puasa adalah ketika adzan subuh (menurut mayoritas umat Islam), berbeda dengan penafsiranku terhadap surat Al-Baqarah ayat 187.

Dalam Shahih Muslim, hadits No. 1825, Hadits riwayat Sahal bin Saad RA, ia berkata: Ketika turun ayat: Makan dan minumlah hingga nyata bagimu benang yang putih dari benang yang hitam. Beliau berkata: seorang lelaki mengambil seutas benang yang berwarna putih dan seutas benang berwarna hitam. Lalu ia makan sampai kedua benang tersebut kelihatan jelas olehnya sampai akhirnya Allah menurunkan ayat kelanjutannya ’Pada waktu fajar’.
Riwayat diatas bercerita tentang seseorang yang menjadikan seutas benang putih dan hitam sebagai tanda mulainya waktu berpuasa. Tidak seperti sekarang kita ini yang menjadi jadwal imsakiyah sebagai patokan. Lho, emangnya salah kalau jadwal imsakiyah dijadikan patokan?
Menurutku, tidak terlalu tepat. Kesimpulan ini aku ambil ketika aku membaca sebuah riwayat dan membaca penafsiran Ibnu Katsir atas ayat tersebut.

Ibnu Katsir menafsirkan surat al-baqarah ayat 187 mengenai waktu memulai puasa, ”yakni hingga jelas terangnya pagi dari gelapnya malam. Dan untuk menghilangkan kesamaran, maka Allah berfirman ’yaitu fajar’.”
Menurutku, penafsiran Ibnu Katsir itu sesuai dengan hadits riwayat Adi bin Hatim RA: Ketika turun ayat: Sehingga nyata bagimu benang yang putih dari benang yang hitam, yaitu fajar, maka Adi bin Hatim berkata kepada Rasulullah Saw: Wahai Rasulullah, sungguh saya meletakkan benang berwarna putih dan benang berwarna hitam di bawah bantalku, sehingga aku dapat mengenali antara waktu malam dan waktu siang hari. Rasulullah Saw bersabda: Sesungguhnya bantalmu itu sangat lebar. Sesungguhnya yang dimaksud adalah hitamnya (gelapnya) malam dan putihnya (terangnya) siang pada saat fajar. (Shahih Bukhari No. 1824)
Dari Surat Al-Baqarah 187 dan hadits2 diatas, aku berpikiran bahwa waktu untuk memulai puasa adalah ketika langit sudah mulai terang atau ketika jelas terangnya pagi dari gelapnya malam. Di Al-Qur’an disebutkan waktu itu adalah waktu fajar atau waktu shalat subuh.
Mari sejenak kita cocokkan waktu adzan subuh menurut jadwal imsakiyah dengan ketentuan yang ada dalam ayat dan hadits diatas.
Kok bisa waktu adzan subuh disamakan dengan waktu fajar (waktu memulai puasa)?
Karena waktu fajar juga digunakan untuk menunjukkan waktu shalat subuh dalam Surat Al-Isra’ ayat 78:
”Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) fajar. Sesungguhnya shalat fajar itu disaksikan (oleh malaikat).”

Aku mendapati bahwa waktu adzan subuh menurut jadwal imsakiyah jauh lebih cepat ketimbang waktu yang telah ditentukan oleh Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 187.
Menurut Nabi, waktu memulai puasa adalah ketika jelas ”terangnya siang” atau dalam riwayat lain ”terangnya pagi”, dari ”gelapnya malam”. Dalam arti lain bahwa kita memulai puasa ketika langit sudah agak terang. Sedangkan pada waktu memulai puasa atau waktu subuh menurut jadwal imsakiyah, langit masih dalam keadaan gelap. Bisa dikatakan disini bahwa waktu mulai berpuasa menurut Al-Qur’an dan waktu memulai puasa menurut jadwal imsakiyah, berbeda.

Jadi, waktu shalat subuh atau shalat fajar adalah waktu untuk memulai puasa. Dan itu adalah ketika mulai jelas terangnya pagi dari gelapnya malam. Atau dalam kata lain, langit sudah mulai terang.

Waktu Berbuka Puasa
Aku juga tidak sepakat dengan waktu maghrib menurut jadwal imsakiyah. Waktu maghrib menurut jadwal imsakiyah sering kali dijadikan patokan waktu untuk berbuka puasa. Betulkah hal itu dijadikan patokan?
Menurut surat Al-Baqarah ayat 187 bahwa waktu berbuka puasa adalah:
”…Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam…”
Waktu berbuka puasa menurut Al-Qur’an adalah ketika datangnya malam. Apa tanda-tandanya?
Untuk menafsirkan ayat ini, jauh lebih aman jika kita menggunakan hadits untuk menafsirkannya.
Memang betul bahwa Nabi pernah berkata bahwa manusia senantiasa berada dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka. (Shahih Bukhari dan Muslim). Tetapi bukan berarti kita berbuka bukan pada waktunya.

Hadits riwayat Umar RA, ia berkata: Rasulullah Saw bersabda: Ketika malam datang, siang pergi dan matahari pun terbenam, maka saat itulah orang yang berpuasa mulai berbuka. (Shahih Muslim, Hadits No. 1841).
Jadi, waktu berbuka puasa itu ketika malam datang, siang pergi dan matahari terbenam. Waktu berpuasa bukan ketika sudah masuk waktu yang ditentukan dalam jadwal Imsakiyah.
Tapi riwayat di Shahih Muslim diatas belum menjelaskan secara detail kapan waktu berbuka puasa.
Dalam riwayat Shahih Bukhari, disebutkan dengan jelas waktu berbuka puasa.
Umar bin Khattab dari ayahnya, ia berkata: ”Rasulullah bersabda: ’Apabila malam datang dari sini dan siang berlalu dari sini, sedang matahari telah terbenam, maka sesungguhnya orang yang berpuasa boleh berbuka.’”
Diatas, ada kata-kata ”malam datang dari sini dan ”siang berlalu dari sini”. Apa maksudnya ini?
Menurutku, maksudnya ”malam datang dari sini” adalah malam datang dari sebelah timur. Langit disebelah timur sudah mulai menggelap. Sedangkan ”Siang berlalu dari sini”, maksudnya adalah siang berlalu dari sebelah barat. Pada langit sebelah barat terdapat rona merah.

Lagi-lagi, ketika aku cocokkan dengan waktu imsakiyah, ternyata berbeda. Ketika adzan maghrib berkumandang (menurut waktu jadwal imsakiyah), langit di sebelah timur masih terang. Tanda-tanda datangnya malam belum tampak.
Jadi, masihkah kita berpatokan pada jadwal imsakiyah? Ya itu sih terserah Anda. Aku tidak berani mengatakan bahwa pendapatku ini yang paling benar.

Hanya Allah-lah yang lebih mengetahui siapa-siapa yang berada pada jalan kebenaran. (An-Nahl ayat 125).

Copy&Paste directly from: http://ressay.wordpress.com/2009/08/25/kritik-atas-waktu-memulai-puasa-dan-waktu-berbuka-puasa/

Izzyway :
Pembahasan yang bagus, untuk waktu mulai puasa memang hampir semua orang sudah mengerti bahwa Imsak adalah waktu untuk berhenti makan dan minum (biasanya 10 menit sebelum azan subuh) karena demi kehati-hatian jangan sampai kita kebablasan masih memasukkan makanan/minuman kedalam mulut sampai tiba masuk waktu subuh, karena kita dimasa yang serba instan ini, hanya berpatokan dengan azan bukan lagi penglihatan terhadap tanda-tanda alam.

Yang sering buat saya miris adalah waktu maghrib. Karena saya pernah tinggal di tepi pantai dan saya selama berhari-hari sungguh-sungguh mengamati bahwa ketika azan maghrib berkumandang, matahari dibarat masih merona merah cerah dan di timur masih terang benderang. Dan saya putuskan untuk menghitung sampai berapa lama kondisi tenggelam dan gelap itu tercapai. Ternyata butuh waktu 15-20 menit untuk kemudian kondisi itu tercapai.
Sejak itu saya selalu menunggu 15-20 menit sejak azan maghrib berkumandang untuk mulai berbuka puasa.
Kenapa?
Pertimbangan saya adalah dengan keawaman saya dan datangnya informasi dan ilmu yang bertabrakan dengan kebiasaan, saya memilih untuk berhati-hati dan mencari aman. Sama halnya dengan konsep waktu imsak yang diadakan demi prinsip kehati-hatian. Toh kalau memang benar menurut Allah SWT waktu berbuka adalah saat azan magrib yang diberlakukan sekarang setidaknya saya tidak dosa karena saya tidak bersegera untuk buka puasa (karena menunggu 15 menit), dan puasa saya pasti terselamatkan dari penalti karena berbuka sebelum waktunya.
Dan kalau ternyata yang benar adalah memang harus revisi waktu maghrib mundur 15-20 menit, kupanjatkan Alhamdulillah atas hidayah-NYA yang telah menyelamatkanku dari kesia-sia-an ibadah.

Pilihan terserah pada masing-masing pencari kebenaran, setidaknya periksa sendiri rujukan terjemahan Al Quran dan hadistnya (tips: Kalau tidak ketemu hadisnya dibuku hadis yang dirumah mungkin karena itu ringkasan hadist, cari yang edisi lengkapnya pasti ketemu).

Minggu, 02 Agustus 2009

Nabi saw Tidak Bermuka Masam

(Meluruskan Tafsir Al Qur’an atas Surat 80 : Abasa : 1-11)
Surah 80 (Abasa)


Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
“Dia” bermuka masam dan berpaling (sedang dia bersama nabi).
Karena telah datang kepadanya seorang buta (Ibn Um-Maktoom).
Tahukah kamu barangkali dia (si buta) ingin membersihkan dirinya (dari dosa).
Atau dia (ingin) mendapat pengajaran (dari Rasul saw) lalu pengajaran itu memberikan manfa'at kepadanya?
Adapun orang (Pembesar Quraish) yang menganggap dirinya serba cukup [kaya],
maka kamu melayaninya
Padahal tidak ada (celaan) ke atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman),
Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera,
Dan dia takut (kepada Allah),
maka kamu mengabaikannya,
Sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan.


Terdapat beberapa penafsir (termasuk yang ada di terjemahan Al Qur’an yang beredar di Indonesia umumnya) yang menafsirkan “Dia” pada surat 80 ayat 1 sebagai Muhammad saw
Penafsiran ini secara secara langsung menempatkan Nabi Islam saw sebagai pelaku pelecehan terhadap Abdullah ibn Umm Maktoom (seorang yang sudah menjadi Mukmin), dengan menunjukkan muka masam dan berpaling darinya
atau secara tidak langsung mengatakan bahwa Nabi saw berakhlak rendah yang kurang terpuji.
Benarkah demikian ???
Bagaimana neraca kebenaran hati dan akal kita umat Islam dalam menempatkan Nabi saw dalam kedudukan yang sepantasnya bagi beliau???

Hadist sababun nuzul Surat 80 yang menisbahkan “Dia” kepada Nabi saw:
Telah dikatakan bahwa ayat ini diturunkan mengenai Abdullah Ibn Maktoom, dia adalah Abdullah Ibn Shareeh Ibn Malik Ibn Rabi'ah al-Fihri dari suku Bani 'Amir Ibn Louay. Para mufassir banyak meriwayatkan bahwa ketika itu dia datang kepada Pesuruh Allah saat Nabi saw sedang menyampaikan dakwah Islam kepada kaum Quraish antara lain : al-Walid bin al-Mughirah, Abu Jahl Ibn Husham, al-Abbas Ibn Abd al-Muttalib, Umayyah bin Khalaf, Utbah dan Syaibah. Si buta itu berkata: `Wahai Pesuruh Allah, bacakan dan ajarkan kepada ku, apa-apa yang Allah telah ajarkan kepada kamu.' Dia terus memanggil kepada nabi saw dan mengulangi permintaannya, dengan tidak diketahuinya bahwa Nabi saw sedang sibuk menghadapi kaum Quraish yang lain, sehingga timbulah raut ketidaksenangan pada wajah Pesuruh Allah kerana merasa terganggu. Nabi saw berkata pada dirinya sendiri bahwa dengan menyahuti si buta pembesar-pembesar ini akan memandangnya rendah dan akan mengatakan Nabi saw sebagai orang yang pengikutnya adalah orang buta dan juga hamba sahaya, maka baginda berpaling dari diri dia [si buta], dan menghadap kepada pembesar-pembesar yang dengannya nabi saw berbicara. Kemudian ayat itu diwahyukan, dimana Allah SWT menegur Nabi saw
Diriwayatkan kemudian bahwa semenjak itu Rasulullah saw, setiap bertemu Ibn Umm Maktoom akan selalu melayaninya dengan baik dan jika baginda melihatnya, baginda akan berkata, kesejahteraan bagi dirinya yang mana Tuhanku telah menegur ku dengan dirinya.' Nabi saw akan bertanya jika dia memerlukan apa-apa, dan dua kali dia ditinggalkan di Madinah sebagai wakil ketika nabi saw dan mukminin keluar untuk misi peperangan.

Riwayat senada bisa ditemukan dalam kitab Sunan Turmudzi. Ulasan oleh seperti yang diatas telah juga dinyatakan di dalam "al-Durr al-Mantsur", oleh al-Suyuti, dengan ada sedikit perbedaan.

Abul A’la Maududi seorang penafsir al-Quran mempunyai pandangan sederhana. Berikut ini perterjemahannya untuk ayat 80:17 :

"Disini kecaman telah ditujukan terus kepada yang kafir, yang tidak mengindahkan kepada berita kebenaran. Sebelum ini, semenjak awal surah sampai ke ayat 16, kecaman ditujukan walaupun kelihatan kepada nabi saw, tetapi yang sebenarnya bertujuan mengecam mereka yang kafir". (Rujukan: Tafsir al-Quran, oleh Abul Ala Maududi, halaman 1005, dibawah ulasan ayat 80:17 (Islamic Publications (Pvt.), Lahore)

MELURUSKAN TAFSIR SURAT 80 LEWAT METODE TAFSIR AL QUR AN DENGAN AL QUR AN

kalau kiranya Al Qur’an ini bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapatkan pertentangan yang banyak didalamnya (4: An Nisaa : 82)
1. Apakah mungkin Nabi saw berahlak buruk dengan melakukan tindakan penghinaan ke pada seorang mukmin yang buta dan miskin demi mendahulukan orang2 kafir Quraish yang kaya dan berpengaruh?
Perhatikan aya-ayat berikut :
Dan berilah peringatan kepada keluarga terdekat, dan berendah dirilah kepada mereka yang mengikutmu, yaitu orang-orang yang beriman (26: Asy Syu’araa :214-215)
Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik (15: Al Hijr : 94)
Janganlah kamu sekali-sekali menunjukan pandanganmu kepada kenikmatan hidup yang telah kami berikan kepada beberapa golongan diantara mereka (orang-orang kafir) dan janganlah kamu bersedih hati terhadap mereka, dan berendah dirilah kamu terhadap orang-orang yang beriman (15: Al Hijr : 88)

Dalam ayat-ayat diatas jelas sekali bahwa nabi saw telah diperintahkan oleh Allah untuk berendah diri terhadap orang-orang mukmin dan berpaling terhadap orang-orang kafir. Nabi saw tidak mungkin melanggar perintah Allah.

2. Bagaimana ahlak Nabi saw sebenarnya menurut Al Qur’an?
Perhatikan ayat-ayat berikut :
Demi bintang ketika terbenam ; Kawanmu (muhammad) tidak sesat dan tidak juga keliru ; Dan tiadalah yang diucapkannya (Al Qur’an) menurut kemauan hawa nafsunya sendiri ; Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya) (53: An Najm :1-4)
Jadi bagaimana nabi saw mengatakan sesuatu yang buruk jika segala perkataannya adalah wahyu atau ilham dari Allah?
Nabi saw TIDAK PERNAH berkata-kata dari kehendaknya
Nun ; Demi kalam dan apa yang mereka tulis; Berkat nikmat Tuhanmu, kamu (muhammad) sekali-kali bukan orang gila ; Dan sesungguhnya bagi kamu benar-benar pahala yang besar dan tidak putus-putus ; Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung (khuluqin-azim) (68: Al Qalam : 1-4)
Ulama sepakat Surah al-Qalam [68] diwahyukan sebelum Surah Abasa [80].
Akal orang yang beriman pada Al Quran tidak dapat menerima fakta yang bertolak belakang dimana disatu ayat Allah memuji Nabi saw dari permulaan kenabiannya, bahwa dia mempunyai akhlak yang termulia, dan kemudian pada ayat yang lain yang diturunkan kemudian berbalik mengecam dan mengkritik orang yang sama terhadap perbuatan darinya yang tidak mencerminkan kemuliaan ahlak
Sesungguhnya telah ada pada diri Rosulullah itu suri tauladan yang baik bagimu (uswatun hasanah)… (33 : Al Ahzab :21)
Allah tidak mungkin memberi manusia teladan ahlak yang tidak baik yang dinisbahkan kepada Nabi saw
3. Apakah Peringatan Allah terhadap orang kafir sama dengan perlakuan Allah terhadap Nabi saw?
Perhatikan ayat-ayat berikut :
Dia bermuka masam dan berpaling (80: Abasa : 1)
Sesudah itu dia bermuka masam dan merengut (74 : Al Muddatstsir :22)
Dalam 30 Juz Al Qur’an kata ‘ABASA (bermuka masam) digunakan oleh Allah 2 kali saja, selain pada surat 80:1 yang lain adalah di surat 74:22 . yang secara jelas pada surat 74:22 tersebut ditujukan kepada Walid bin Mughirah (kafir Quraish).
Tetapi ia mendustakan (rasul) dan berpaling (dari kebenaran) (75 : Al Qiyaamah :32)
Tetapi orang yang berpaling dan kafir (88 : Al Ghaasiyiyah :23)
Bagaimana pendapatmu jika orang yang melarang itu mendustakan dan berpaling? (96 : Al ‘Alaq :13)
Dalam 30 Juz Al Qur’an, kata TAWALLAA (berpaling) selain pada surat 80:1 digunakan oleh Allah beberapa kali pada surat yang lain yang semuanya merujuk pada perbuatan orang-orang kafir,
SUDAH JELAS NABI SAW TIDAK SAMA APALAGI DAPAT DIPERSAMAKAN DENGAN ORANG KAFIR
4. Bagaimana kontradiksi penggunaan kata “Dia:” dan “kamu” dalam ayatayat pada Al Quran surat 80, sehingga mendorong untuk menisbahkan teguran Allah kepada nabi saw?
Bagaimanapun, yang sebenarnya, Al Qur’an TIDAK memberikan sembarang bukti bahwa orang yang berkerut muka pada si buta adalah nabi saw, dan tidak juga mengatakan kepada siapa ditujukan. Di dalam ayat Al Qur’an di atas Allah TIDAK mengatakan kepada nabi sama dengan nama atau darjah [yaitu Wahai Muhammad, atau Wahai Nabi atau Wahai Rasul] Lebih-lebih lagi terdapat pertukaran ganti nama `dia' didalam dua ayat pertama kepada `kamu' di dalam ayat yang berikutnya disurah tersebut. Allah TIDAK mengatakan:

`Kamu berkerut muka (bermuka masam) dan berpaling'. Bahkan Allah berfirman:
80:1 “Dia” bermuka masam dan berpaling (sedang dia bersama nabi).
80:2 Karena telah datang kepadanya seorang buta (Ibn Um-Maktoom).
80:3 Tahukah “kamu” barangkali dia (si Buta) ingin membersihkan dirinya (dari dosa).
Walaupun jika kita menganggap bahwa `kamu' di dalam ayat yang ketiga ditujukan kepada nabi saw, maka dengan ini jelaslah dari tiga ayat yang diatas bahwa perkataan `dia' [orang yang bermuka masam] dan `kamu' menunjukkan dua individu yang berlainan. Dua ayat yang berikutnya juga menyokong kata-kata itu:

80:5 Adapun orang yang menganggap dirinya serba cukup [kaya],
80:6 maka kamu melayaninya
80:7 Padahal tidak ada (celaan) ke atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman).

Dari itu orang yang bermuka masam adalah yang lain (bukan) Nabi saw sendiri disebabkan oleh perbedaan yang nyata diantara `dia' dengan `kamu'. Di dalam ayat 80:6 Allah berfirman kepada Nabi saw dengan mengatakan bahwa, menyampaikan kepada ahli Quraish yang sombong, yang bermuka masam kepada si Buta tidak ada faedahnya, dan tidak perlu diutamakan dari menyampaikan kepada si buta, walaupun si buta datang kemudian. Sebabnya adalah, menyampaikan kepada sesaorang yang tidak mau mensucikan dirinya [sehinggakan dia bermuka masam kepada orang yang beriman] tidak akan ada hasilnya.
Para pentafsir al-Quran yang lain berhujah bahwa, bahkan persoalan pada ayat ketiga dan keempat pada surah tersebut mengenai keraguan terhadap Abdullah mendapat faedah atau tidak dari berkata-kata dengan Nabi saw, hanya bisa terdapat di dalam fikiran seorang yang belum memeluk Islam, Ini tidak pernah berlaku di dalam fikiran Nabi saw yang telah disiapkan Allah untuk menyampaikan keimanan kepada semua manusia tanpa memandang kedudukan mereka di dalam kalangan manusia. Berdasarkan itu, mereka merumuskan bahwa perkataan `kamu' pada ayat ketiga masih tidak ditujukan kepada nabi, tetapi menunjukkan kepada salah seorang dari kafir Quraish yang hadir, dan bahwa TIADA dari empat ayat pertama, dari surah tersebut [80:1-4] ditujukan kepada Nabi saw walaupun ayat selanjutnya dikatakan kepada Nabi saw.
Mereka yang biasa dengan bahasa al-Quran, sudah pasti tahu dengan tata cara penulisan Al-Qur’an pada pertukaran diantara orang pertama, kedua dan ketiga. Terdapat banyak ayat di dalam al-Quran; dimana Allah begitu saja menukarkan terhadap yang diperkatakan, dan dengan begitu,biasanya tidak mudah untuk menentukan siapa yang diperkatakan ,apabila nama mereka yang diperkatakan tidak disebutkan.

Pemuka dari kalangan Ahlu Bait Rosulullah saw yaitu Imam Jafar “Ash-Sadiq” bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib as berkata:
Surat Abasa telah diwahyukan mengenai seorang dari bani umayyah, dia berada bersama nabi saw, kemudian Ibn Umm-Maktoom datang, ketika dia melihat beliau, dia menghinanya; menjauhkan diri, mengerutkan muka (bermuka masam) dan berpaling darinya. Maka Allah telah mengatakan, apa yang tidak disukai-Nya dari tindakkan bani Umayyah itu.
Rekonstruksi atas Azbabun Nuzul
Peristiwa pada turunnya surah ini adalah suatu kejadian sejarah. Suatu ketika Nabi saw masih berada di Mekah beliau ditanya oleh seorang pembesar Quraish yang kaya dan berpengaruh bernama Walid bin Mughirah mengenai agama yang dibawanya yaitu Al Islam. Adalah Kewajiban Rosulullah saw untuk menjawab dan memberi keterangan dalam majelis yang dihadiri juga oleh beberapa kaum Quraish yang lain. Saat nabi menyampaikan penjelasan kepada mereka, datanglah ketengah majelis tersebut Abdullah Ibn Umm Maktoom yang buta - seorang dari para sahabat nabi saw - ingin ikut mendengarkan. Nabi saw menyambutnya dengan hormat dan mendudukkannya dekat dengan Nabi saw.
Oleh karena Abdullah miskin dan buta, pembesar Quraish memandang rendah kepadanya, dan tidak suka kepada sanjungan dan kehormatan yang diberikan kepadanya oleh Nabi saw. Mereka juga tidak suka dengan kehadiran si buta diantara mereka, dan menganggu percakapan mereka dengan nabi saw. Akhirnya seorang dari pembesar Quraish [Walid bin Mughirah] berkerut muka pada Abdullah dan berpaling dari dia.
Perbuatan pembesar Quraish ini telah membuat Allah murka, dan Dia telah menurunkan Surah 80 [Abasa] melalui Jibril pada saat itu juga. Surah ini menyanjung kedudukan Abdullah walaupun dia miskin dan buta. Di dalam 4 ayat pertama, Allah mengecam tindakkan buruk pembesar Quraish. Dan di dalam ayat-ayat yang berikutnya, Allah memperingatkan nabi saw bahwa menyampaikan kepada yang kafir tidaklah perlu jika si kafir tidak berhasrat untuk membersihkan diri dan menyakiti pula orang yang beriman, karena miskin dan cacat.
Mohon agar direnungkan oleh kita:
Nabi Islam Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthallib saw, yang merupakan sebaik-baiknya mahkluk ciptaan Allah swt jelas merupakan manusia yang fana secara lahir tapi tidak secara ruhani yang oleh Al Qur’an sudah disebutkan sebagai Puncak memuliaan makhluk.
Akal orang yang beriman tidak dapat menerima bagaimana Nabi saw yang telah dikirimkan ALLAH swt dari sejak awal sampai akhir zaman sebagai RAHMAT AL ‘ALAMIN boleh berkelakuan dengan begitu keji
Jika bermuka masam bukanlah satu ahlak yang baik bagi muslim biasa apalagi untuk kepribadian atau tingkah laku Nabi saw, yang masih bisa tersenyum walaupun terhadap musuhnya, apa lagi ditujukan terhadap mereka yang beriman yang ingin mendapat petunjuk.
Apakah untuk bertauhid kepada Allah swt harus mengorbankan kemuliaan ahlak Nabi Islam saw yang sangat disanjung oleh Robbul ‘Alamin sendiri?
Apakah kita muslimin akan menyalahkan orang nasrani bila mereka berkata bahwa Yesus menyembuhkan orang buta sementara Nabi Islam saw malah berpaling dari orang buta?

----------------------------------------------------------------------

Rujukan:
al-Mizan, oleh al-Tabataba'i (Arab), jilid 20, ms 222-224.
al-Jawhar al-Thameen fi Tafsir al-Kitab al-Mubeen, oleh Sayyid
Abdullah Shubbar, jilid 6, ms 363.
Perbahasan lebih lanjut boleh dibaca dari buku karangan Hussein al-
Habsyi bertajuk,"Nabi SAWA Bermuka Manis Tidak Bermuka Masam,"
Penerbitan al-Kautsar, Jakarta,1992.

Sabtu, 01 Agustus 2009

Benarkah Nabi Muhammad SAW Pernah Tersihir?

Riwayat Nabi Muhammad saw. disihir telah dimuat dalam beberapa buku standar yang beredar dan diyakini oleh para penulisnya, dan banyak kalangan yang bertaklid (berpegang) kepada mereka sebagai sesuatu yang sahih. Hadits yang meriwayatkannya termuat di Bukhari dan Muslim dengan redaksi yang tidak sama tapi mempunyai kandungan yang senada.

Hadis Riwayat Muslim:

Abu Kuraib membawakan riwayat dari Ibn Numair dari Hisyam dari ayahnya Urwah ibn Zubair dari Aisyah, bahwa Rosulullah saw. disihir oleh seorang Yahudi dari suku Zuraiq bernama Labid bin A’sham. Sehingga Nabi saw. berkhayal melakukan sesuatu, padahal tidak. Dan pada suatu hari/malam, Rosulullah saw. berdoa dan berdoa terus, kemudian berkata, “Hai Aisyah! Tahukah engkau bahwa Allah telah berkenan menerima doa yang kupanjatkan? Telah datang dua orang, lalu yang satu duduk di sebelah kepalaku dan yang lain di samping kaki, kemudian yang berada di sebelah kepalaku berkata kepada yang berada di sebelah kakiku atau yang berada di sebelah kakiku berkata kepada yang berada di sebelah kepalaku, ’Apa sakit orang ini?’, ‘Tersihir,’ jawab temannya. ‘Siapa yang menyihirnya?’ Temannya menjawab, ‘Labid bin al A’sham.’ Ia berkata, ‘Pada apa?’ Temannya menjawab, ‘Pada sisir , rontokan rambut dan mayang pokok kurma jantan.’ Ia berkata, ‘Dimana?’ temannya menjawab, ‘Disumur Dzarwan.’ ”

Aisyah berkata, ”Setelah mendatangi sumur tersebut bersama sejumlah sahabatnya, Rosulullah saw. berkata, ‘Hai Aisyah! Demi Allah seakan-akan airnya seperti air pacar, dan pohon kurmanya seperti kepala-kepala setan.’ “

Aisyah berkata,” Wahai Rosulullah! Mengapa anda tidak membakarnya?” Beliau menjawab, “Tidak, aku telah disembuhkan oleh Allah, dan aku enggan menimbulkan kejahatan atas manusia. Aku hanya perintahkan agar sumur ini ditutup.”

Berikut komentar dari seorang ulama besar Islam.

Syekh Muhammad Abduh dalam tafsir Juz Amma-nya mengkritik dengan keras anggapan bahwa Nabi Islam saw. terpengaruh oleh sihir. Beliau berkata:

"Dalam hal ini mereka meriwayatkan hadis-hadis bahwa Nabi saw tersihir oleh Labid bin A'sham. Sihir itu berpengaruh pada diri Beliau, sehingga beliau beranggapan sedang melakukan sesuatu padahal tidak, atau mendatangi sesuatu padahal tidak. Kemudian Allah memberitahukan kepada beliau tentang hal itu. Lalu bahan-bahan sihir itu dikeluarkan dari sebuah sumur, dan sembuhlah beliau saw. dari pengaruh sihir tersebut dan turunlah surat ini (al-Falaq).

Dan tidak samar lagi bahwa pengaruh sihir atas beliau saw. yang menyebabkan beliau menganggap melakukan sesuatu padahal tidak, bukan tergolong pengaruh sakit pada fisik dan tidak pula sama dengan lalai atau lupa dalam hal-hal yang biasa, akan tetapi ini berpengaruh pada akal dan jiwa. Dan ini akan membenarkan tuduhan orang-orang musyrik pada beliau saw:

"Kamu tidak mengikuti kecuali seorang yang terkena sihir." (QS.17:47)

Menurut anggapan mereka (orang musyrik), seorang yang terkena sihir itu tidak lain adalah seorang yang kacau akalnya dan berkhayal bahwa sesuatu telah terjadi, padahal tidak, maka ia berkhayal bahwa ia menerima wahyu padahal tidak.

Dan banyak dari para muqallid (orang awam yang menyandarkan pemahaman agama pada para mujtahid/ulama taqlid), yang tidak memahami hakikat kenabian dan syarat wajib kenabian, beranggapan bahwa cerita pengaruh sihir atas jiwa Nabi Islam saw. itu sahih, maka harus diyakini, dan menolak kebenarannya adalah bid'ah, sebab ini sama dengan ingkar terhadap sihir, padahal Al-Quran telah menetapkan adanya sihir.

Syekh Abduh melanjutkan:

"Lihat dan perhatikanlah! Bagaimana agama yang benar dan kebenaran yang gamblang telah berubah menjadi bid'ah dalam pandangan seorang muqallid. Ia berhujjah dengan Al-Quran untuk menetapkan sihir sementara ia sendiri berpaling dari Al-Quran yang menolak membenarkan sihir atas Nabi Islam saw. dan menganggapnya sebagai tuduhan palsu kaum musyrik".

Yang wajib diyakini adalah bahwa Al-Quran pasti benar, (ia adalah kitab Allah yang dinukil secara muttawatir (banyak periwayat) dari Nabi Islam saw yang maksum (disucikan Allah dari dosa). Apa yang ditetapkan Al-Quran wajib kita yakini, apa yang dinafikannya tidak wajib kita yakini. Sementara Al-Quran telah menafikan pengaruh sihir pada Nabi Islam saw. Jadi beliau saw secara pasti tidak terpengaruh oleh sihir (tersihir).

Dan sekarang yang harus kita lakukan ialah tidak menjadikan hadis itu sebagai tolak ukur akidah kita. Karena dalam berakidah , kita harus mengambil dalil Al-Quran dan dalil akal. Jika Nabi Islam saw tersihir – kacau akalnya seperti anggapan mereka – bisa saja beliau saw mengira telah menyampaikan sesuatu padahal tidak, atau mengira sesuatu telah diterimanya padahal tidak, maka hal itu sudah jelas omong kosong.

Syekh Abduh melanjutkan:

“Sihir bisa saja berpengaruh pada orang lain sehingga ia menjadi gila, tetapi mustahil menimpa Nabi Islam saw., karena Allah telah memeliharanya.”

Setelah menjelaskan arti sihir dalam Al-Quran, beliau mengatakan :

“Kalau mereka benar-benar menghargai Al-Quran dan dan memiliki modal bahasa yang memadai bagi seorang yang berakal untuk berbicara, niscaya mereka tidak akan berbicara sembarangan seperti itu, dan tidak akan mencoreng nama Islam. Bagaimana mungkin surat al-Falaq ini turun berkenaan dengan kasus tersihirnya Nabi Islam saw, padahal ia tergolong surat Makkiah menurut ‘Atha’, Hasan, Jabir dan Ibn Abbas dalam riwayat Abu Kuraib, sementara peristiwa itu terjadi di kota Madinah!”

Sementara itu Allah menjamin penjagaan atas Rosul-Nya :

(Dia adalah Tuhan) Yang Mengetahui yang Ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang Ghaib itu. Kecuali kepada rosul yang diridhai-Nya, maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di muka dan belakangnya. (QS.al-Jin : 26-27)

Dan Allah akan menjagamu dari (gangguan) manusia (QS.al-Maidah : 67)

Sebagai penutup marilah kita berharap bahwa kita tidak termasuk kedalam golongan orang-orang yang zalim yang disinyalir Allah Swt dalam firman-Nya :

Kami lebih mengetahui dalam keadaan bagaimana mereka mendengarkan sewaktu mereka mendengarkan kamu (Nabi saw.), dan sewaktu mereka berbisik-bisk (yaitu) ketika orang-orang zalim itu berkata : ‘ Kamu tidak lain hanyalah mengikuti seorang laki-laki yang kena sihir’. (QS.17.al-Israa’ :47)

Iw-Jan2007

Rabu, 29 Juli 2009

Ilmu ALLAH SWT Meliputi Segala Sesuatu

Diriwayatkan oleh Ahmad bin Hanbal dalam Musnad Ahmad 2/167 no 6563

حدثنا عبد الله حدثني أبي ثنا هاشم بن القاسم ثنا ليث حدثني أبو قبيل المعافري عن شفى الأصبحي عن عبد الله بن عمرو عن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال خرج علينا رسول الله صلى الله عليه و سلم وفي يده كتابان فقال أتدرون ما هذان الكتابان قال قلنا لا الا أن تخبرنا يا رسول الله قال للذي في يده اليمنى هذا كتاب من رب العالمين تبارك وتعالى بأسماء أهل الجنة وأسماء آبائهم وقبائلهم ثم أجمل على آخرهم لا يزاد فيهم ولا ينقص منهم أبدا ثم قال للذي في يساره هذا كتاب أهل النار بأسمائهم وأسماء آبائهم وقبائلهم ثم أجمل على آخرهم لا يزاد فيهم ولا ينقص منهم أبدا فقال أصحاب رسول الله صلى الله عليه و سلم فلأي شيء إذا نعمل ان كان هذا أمر قد فرغ منه قال رسول الله صلى الله عليه و سلم سددوا وقاربوا فإن صاحب الجنة يختم له بعمل أهل الجنة وان عمل أي عمل وان صاحب النار ليختم له بعمل أهل النار وان عمل أي عمل ثم قال بيده فقبضها ثم قال فرغ ربكم عز و جل من العباد ثم قال باليمني فنبذ بها فقال فريق في الجنة ونبذ باليسرى فقال فريق في السعير

Telah menceritakan kepada kami Abdullah yang berkata telah menceritakan kepadaku Ayahku yang berkata telah menceritakan kepada kami Hasyim bin Qasim yang berkata telah menceritakan kepada kami Laits yang berkata telah menceritakan kepadaku Abu Qabil Al Ma’afiri dari Syafi’ Al Asbahi dari Abdullah bin Amr dari Rsulullah SAW, Abdullah berkata “Rasulullah SAW keluar menemui kami dengan kedua kitab di tangan Beliau. Kemudian Beliau bertanya “Apakah kalian mengetahui kedua kitab ini?. Kami menjawab “tidak wahai Rasulullah kecuali Anda mengabarkan kepada kami”. Kemudian Beliau bersabda mengenai kitab di tangan kanannya “Ini adalah Kitab yang berasal dari Rabb semesta Alam, di dalamnya terdapat nama-nama penduduk surga dan nama-nama orang tua mereka serta kabilah mereka. Jumlahnya telah ditutup dengan orang terakhir dari mereka dan tidak akan ditambah dan tidak pula dikurangi”. Kemudian Beliau bersabda tentang kitab di tangan kirinya “Adapun ini adalah Kitab dari Rabb semesta Alam, di dalamnya terdapat nama-nama penghuni neraka dan nama-nama orang tua serta kabilah mereka. Jumlahnya telah ditutup dengan terakhir dari mereka sehingga tidak akan bertambah ataupun berkurang untuk selama-lamanya. Kemudian para sahabat berkata “kalau begitu dimana amalan wahai Rasulullah SAW jika semuanya sudah ditetapkan?”. Beliau menjawab “berusahalah dan mendekatlah karena sesungguhnya penduduk surga akan ditutup dengan amalan penduduk ahli surga meskipun ia mengamalkan apa saja. Dan sesungguhnya penduduk neraka akan ditutup dengan amalan penduduk neraka meskipun ia mengamalkan apa saja. Kemudian Rasulullah SAW bersabda “Sesungguhnya Allah SWT telah selesai terhadap para hambanya”. Beliau berkata sambil mengarahkan tangan kanannya “satu kelompok di dalam surga” kemudian mengarahkan tangan kirinya seraya berkata “kelompok yang lain di dalam neraka”.

Syaikh Ahmad Syakir dalam Syarh Musnad Ahmad no 6563 menyatakan bahwa hadis ini sanadnya Shahih. Hadis ini juga diriwayatkan dalam Sunan Tirmidzi 4/449 no 2141 dimana Imam Tirmidzi berkata “hadis hasan shahih gharib”. Syaikh Al Albani memasukkannya dalam Shahih Sunan Tirmidzi no 2141 dan berkata “hadis hasan”. Kemudian Syaikh Al Albani juga memasukkan hadis ini dalam Shahih Jami’ As Shaghir no 88 dan berkata “hadis shahih”.

Membaca hadist diatas yang terlintas di pikiran pertama kali mungkin adalah bahwa adalah ini adalah salah satu hadist yang menyokong dan bersesuaian dengan paham JABARIAH atau DETERMINISME, yang intinya menafikan adanya perbuatan otonom (kehendak bebas ) seorang hamba dengan menyandarkan semuanya kepada Allah SWT. Sekilas memang demikian, karena seolah Allah SWT telah "menetapkan" siapa-siapa yang masuk sorga dan siapa-siapa yang masuk neraka tanpa peduli akan amal perbuatannya didunia, sehingga sebenarnya tidak bergunalah "ikhtiar" kita, dengan demikian kita menisbahkan kezaliman pada Allah SWT. Karena seolah Allah menciptakan makhluk-Nya hanya untuk kemudian menyiksanya di neraka.

Sungguh Maha Suci Allah dari kezaliman, karena Allah SWT tidak menzalimi hambanya kecuali mereka menzalimi dirinya sendiri. Allah SWT berfirman :

"Dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba-Nya" (QS 41-Al Fushilat :46)

"Maka sekali-kali tidaklah Allah menganiaya mereka, akan tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri" (QS 9-At Taubah:70)

Bagi orang awam yang masih belum paham atau belum tertarik mengenai konsep aqidah akan sangat sulit mencerna polemik yang timbul dari hadist diatas. Sehingga mungkin lebih mudah untuk mencari jalan tengah dengan melihat dari sisi yang lebih pasti yaitu dari sisi ke-Maha Tahu-an Allah SWT. Tuhan kita tidak menzalimi mahluk-Nya dengan menetapkan neraka kepada suatu kelompok dan menetapkan surga kepada kelompok yang lain, tapi Allah Yang Maha Mengetahui segala sesuatu dari awal penciptaan sudah mengetahui satu persatu siapa individu mahluknya yang masuk surga atau dan siapa individu masuk neraka. Sebagaimana firman Allah SWT :

"Sesungguhnya Alllah Maha Tahu lagi Maha Bijaksana" (QS 76-Al Insaan :30)

"Dia lebih mengetahui apa yang mereka kerjakan" (QS 39-Az Zumar:70)

Jadi Allah telah memerintahkan semua makhluk untuk beribadah dan beramal sholeh yang dengan mengikutinya kita akan diganjar dengan sorga-Nya. Dan Allah Maha Mengetahui siapa-siapa yang akan sukses menjalankan perintahnya dan siapa-siapa yang dengan kesesatannya akan membawa dirinya ke neraka.

"Dan jiwa serta penyempurnaannya. Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu kefasikan dan ketakwaannya. Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwa itu. Dan sungguh merugi orang yang mengotorinya" (QS 91-Asy Syams :7-10)

Jumat, 20 Maret 2009

Belajar Tauhid : Pelajaran 2

Belajar Tauhid dari Imam Ali


Al Hasan bin Abi Hasan al-Bashri meriwayatkan:

Seorang lelaki datang menghadap Amirul Mukminin- Imam Ali bin Abi Thalib- setelah Imam pulang dari perang Shiffin.

Lelaki itu bertanya kepada Imam Ali:” Wahai Amirul Mukminin, katakan kepadaku apakah perang antara anda dan orang-orang itu merupakan akibat dari Qadha dan Qadar Allah?”

Imam Ali menjawab, “Engkau tidak akan pernah naik bukit dan turun lembah tanpa Qadha dan Qadar Allah.”

Lelaki itu berkata,”Kalau demikian wahai Amirul Mukminin, aku anggap semua urusanku sebagai tanggung jawab Allah.”

“Mengapa?” tanya Imam Ali

“Jika Qadha dan Qadar Allah membawa kita berbuat sesuatu, maka apa artinya pahala untuk kita yang taat dan hukuman untuk kita yang durhaka?’ balas bertanya lelaki itu.

Imam Ali menjawab,”Apakah engkau mengira bahwa itu merupakan Qadha dan Qadar yang tersegel?” Janganlah berfikir demikian, itu adalah doktrin kaum musyrik, pendukung setan, kaum Majusi dan musuh Allah.

Allah SWT memberikan perintah sebagai suatu pilihan bebas (takhyir), dan memberikan larangan sebagai suatu peringatan (agar tidak berbuat sesuatu).

Allah memberikan tugas (takhlif) pada kita. Allah dipatuhi bukan karena terpaksa, dan tidak dipatuhi bukan karena tidak dapat ditundukkan.

DIA tidak menciptakan bumi, langit dan apa yang ada diantara keduanya dengan sia-sia…Itulah persangkaan orang-orang kafir, celakalah mereka itu, neraka adalah tempat bagi orang-orang kafir (QS.Shad:27).”

“Kalau begitu, bagaimana Qadha dan Qadar itu, wahai Amirul Mukminin?” tanya si lelaki.

“Itu adalah perintah untuk taat, larangan bersikap durhaka, ketetapan (bagi manusia) untuk mendekatkan diri kepada-Nya dan untuk meninggalkan mereka yang durhaka kepada-Nya, janji pahala dan ancaman hukuman, inspirasi (yang DIA berikan kepada manusia) untuk berbuat baik dan rasa takut berbuat dosa (yang DIA munculkan dalam diri manusia). Itu semua adalah Qadha Allah berkenaan dengan tindakan kita dan Qadar-Nya berkaitan dengan amal kita. Adapun klaim-klaim lain, jangan hiraukan. Karena, kalau klaim-klaim lain itu diindahkan maka amalmu menjadi batal,” jawab Imam Ali.

Lelaki itu kemudian berkata,”Anda telah menghilangkan kekhawatiranku, wahai Amirul mukminin. Semoga Allah menghilangkan kekhawatiranmu.”

Setelah itu lelaki itu membaca syair:
Engkau adalah imam
Dengan menantimu aku mengharap ampunan Tuhan Maha Pengasih
Pada hari semua kembali kepada-Nya
Engkau telah jelaskan apa yang tidak jelas dalam agama kita
Semoga Tuhan menganugrahimu belimpah kebaikan.

Pelajaran :
» Makna keadilan Allah
» Larangan untuk menerima ajaran Jabariyah (determinisme) yang melimpahkan segala sesuatu kepada Allah – tanpa ada kehendak bebas dari manusia
» Allah suci dari melakukan perbuatan yang sia-sia.

Dikutip dari:
“Sejarah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as” / Syaikh Al Mufid
Cet.I - Penerbit Lentera 2005
Judul Asli Al Irsyad
Reff Khusus Riwayat diatas diambil Syaikh Al Mufid dari :
Uyun al-Akhbar ar-Ridha, Jilid 1, hal.138
Tuhaf al-‘Uqul, hal.349

Belajar Tauhid : Pelajaran 1

Belajar Tauhid Dari Imam Ali

Semasa Kalifah pertama memerintah, serombongan orang nasrani yang dipimpin oleh uskup dan ulama tingginya, datang ke Madinah, mereka hendak bertemu khalifah Rosulullah saw, masyarakat membawanya ke Abu Bakar, mereka mengajukan berbagai pertanyaan kepada Abu Bakar, Namun Abu Bakar membawa mereka kepada Imam Ali bin Abi Thalib agar mendapat jawaban yang benar.

Mereka Mengajukan pertanyan,”Dimanakah Allah?’

Imam Ali menyalakan api dan bertanya kepada mereka,”Manakah bagian depan (wajah) api ini?”

Cendikiawan nasrani menjawab,”Seluruh sisi api ini dapat dianggap sebagai wajahnya, tak ada depan tak ada belakang.”

Imam Ali berkata,”Tatkala bagi api – yang merupakan ciptaan Allah – tidak memiliki bagian khusus, maka Penciptanya sama sekali tidak memiliki keserupaan dengannya. Lebih dari sekedar depan dan belakang,........ barat dan timur semata-mata berasal dari Allah. Kemana saja engkau menghadapkan wajahmu itulah wajah Allah, dan tak satupun yang tersembunyi dari-NYA

Pelajaran :
Allah SWT tidak bertempat, Bila Allah bertempat tinggal, maka “tempat“ itu lebih besar dari Allah untuk menampung zat-NYA, jadi apalah arti Allah Maha Besar, bila “tempat” Allah lebih besar dari Allah?
Allah tidak bisa dan tidak boleh disifati (diserupakan) dengan makluk
Allah sudah ada, sebelum ada “tempat”